Jumat, 15 Februari 2013

Desain SKU Forwi News

Media Informasi Masyarakat
forumwartawanindonesia.blogspot.com













AIDS, Kondom dan Kepala Batu Bu Menteri


Oleh : Iwan Januar

syahidah.web.id - Keras kepala! Itu julukan yang tepat ditujukan untuk Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi dalam persoalan HIV/AIDS. Kepada BBC (1/12) Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan penin
gkatan terjadi karena kurangnya pemakaian kondom di kelompok yang berisiko seperti pekerja seks PSK.

“Prevalensi pada PSK perempuan, laki-laki, waria itu meningkat, ini mengkhawatirkan, dan salah satu penyebabnya karena penggunaan kondom yang kurang,” kata Nafsiah kepada BBC Indonesia.

Kementerian kesehatan menyebutkan jika pencegahan tidak dilakukan diperkirakan kasus baru HIV bisa mencapai 76.000 per tahun. Jumlah orang dengan AIDS sampai September 2012 mencapai 3.541 orang, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 6.187 orang. Sementara jumlah pengidap HIV turun dari 21.031 orang menjadi 9.883 orang.

Menteri Kesehatan menyebutkan sekitar 10 persen pekerja seks perempuan sudah terinfeksi, dan karena mereka tak bisa memaksa pelanggan untuk menggunakan kondom.

“Tidak seperti Thailand no kondom no sex, Indonesia belum bisa memaksakan penggunaan kondom, saya baru ngomong kondom saja sudah didemo, tetapi ini harus dilakukan untuk melindungi kaum perempuan,” kata Nafsiah.

Bukan pertama kali Menkes berbicara soal penggunaan kondom untuk pencegahan penyakit menular seksual (PMS). Di awal masa jabatannya, Nafsiyah Mboi sudah menyuarakan pentingnya kondom bagi pelaku seks aktif. Meski banyak yang menentangnya akan tetapi Menkes tetap pada keyakinannya. Kali ini Menkes juga berdalih bahwa penggunaan kondom bertujuan untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan penularan penyakit kelamin, khususnya HIV/AIDS.
Sesat Pikir

Ada sejumlah hal yang patut dipertanyakan dari pernyataan Menkes; 
pertama, soal efektifitas kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Sudah banyak pakar yang menerangkan ketidakmampuan kondom dalam mencegah penularan penyakit yang melemahkan kekebalan tubuh ini. Pada tahun 1993 Dirjen WHO Hiroshi Nakajima sudah meragukan efektifitas penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Sementara itu majalah Customer Reports pada tahun 1995 menyebutkan bahwa pori-pori kondom berukuran 10 X lipat lebih besar dibandingkan ukuran virus HIV. Ditambah lagi banyak laporan yang menyebutkan bahwa tingkat kebocoran kondom mencapai 30 persen.

Sanggupkah menkes bertanggung jawab bila terjadi penularan HIV/AIDS pada pelaku seks padahal ia telah menggunakan kondom sesuai anjuran sang menteri? Dengan resiko yang demikian tinggi dari penggunakan kondom, bukankah itu berarti saran bu menteri ini menjadi sangat berbahaya?

Kedua, apakah benar kondomisasi bertujuan untuk melindungi kaum wanita?Jawabannya tidak! Anjuran penggunaan kondom bagi pelaku seks aktif, terutama lelaki hidung belang dan para PSK, sama dengan melestarikan pelacuran. Usulan bu menteri ini sama saja dengan mengatakan ‘silakan kalian tetap melacur tapi jangan lupa pakailah kondom’.

Melindungi wanita — termasuk para PSK – bukanlah dengan cara menyediakan kondom, tapi angkatlah derajatnya agar menjadi wanita terhormat. Beri mereka pekerjaan yang layak, sejahterakan mereka dan lindungi kehormatan mereka.Kewajiban pemerintah adalah memakmurkan rakyatnya, khususnya kaum wanita yang memang rentang terjebak dalam dunia prostitusi baik karena inisiatif pribadi maupun menjadi korban trafficking.

Pernyataan menkes ini amat tidak bertanggung jawab. Menunjukkan pemerintah tidak ada inisiatif untuk memberantas pelacuran dan memberikan jaminan hidup yang layak bagi rakyatnya sendiri. Alih-alih memberikan peningkatan ekonomi, mereka malah diajarkan untuk tetap melacur asal menggunakan kondom.

Ketiga, fakta menunjukkan meningkatnya PMS, kelahiran yang tak diinginkan, aborsi berbanding lurus dengan semakin permisif-nya perilaku masyarakat. Semakin tinggi gaya hidup free-sex masyarakat, semakin besar kemungkinan mereka terinfeksi PMS termasuk HIV/AIDS. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang memegang teguh nilai agama, setia pada pasangan dan peduli pada lingkungan jauh dari kemungkinan terkena PMS.

Solusi yang semestinya diusulkan pemerintah dan Bu Menkes adalah mengenyahkan gaya hidup hedonis dan permisif ini. Mengajak masyarakat agar kembali pada ajaran agama dan menutup pintu-pintu perzinahan. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan meninggalkan sekulerisme yang menjadi landasan kehidupan masyarakat hari ini.

Dalam sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan, dibenarkan prinsip kebebasan kepribadian dan perilaku, terutama dalam masalah seks-bebas. Lebih jauh lagi, karena sekulerisme dan demokrasi mengesahkan kebebasan ekonomi, maka perilaku masyarakat yang gila seks bebas ini menjadi peluang pasar yang dapat menghasilkan uang. Maka berdirilah prostitusi berdiri bukan sekedar kebetulan, tapi menjadi bagian dari industri dalam mesin kapitalisme. Ada supply ada demand. Ada permintaan ada penawaran.

Dalam kapitalisme, bagi masyarakat yang lemah seperti kaum wanita, prostitusi juga menjadi bagian dari prinsipsurvival of the fittest. Karena negara emoh mengurus rakyatnya, sehingga rakyatnya harus menghidupi diri mereka sendiri, menjadi PSK adalah salah satu pilihan pekerjaan yang diambil oleh segelintir wanita.

Mencegah AIDS dan PMS hanya bisa dilakukan dengan menciptakan sistem sosial yang bersih, jauh dari perzinaan. Hal ini hanya terwujud dalam masyarakat yang berakidah lurus, akidah Islam. Ada perasaan takut kepada Allah, bahagia jika mendapat ridloNya, dan taat pada aturanNya. Hal ini tidak terdapat dalam masyarakat demokrasi-sekuler.Tidak ada lagi jalan keluar dari persoalan ini melainkan dengan menguatkan akidah masyarakat, melaksanakan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Tanpa itu semua, spirit untk menjauhkan masyarakat dari PMS hanyalah omong kosong.

Usulan kondomisasi dari Bu Menkes adalah sesat-pikir yang beranjak dari sikap emoh pemerintah dalam mengurusi rakyatnya. Sikap ini berasal para penguasa yang tetap betah hidup di alam sekulerisme-demokrasi-kapitalisme. Dimana para penguasanya lebih senang memperkaya diri dan parpolnya serta keluarganya, ketimbang mensejahterakan rakyatnya sendiri. Daripada capek-capek memikirkan kesejahteraan rakyat lebih baik membiarkan mereka apa adanya sembari diberi ‘pengaman’. Sungguh memprihatinkan.

Seret Petinggi Densus 88 ke Pengadilan


  Mereka sangat patut diseret ke penyelidikan projustitia  pelanggaran HAM berat, termasuk pimpinan Polri secara berurutan.

    Tindakan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri kian hari makin brutal dan tidak lagi mengindahkan hukum. Mereka dengan seenaknya melakukan extra judicial killing (pembunuhan di luar pengadilan).

    Wakil Ketua Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menilai, tindakan Densus 88 membunuh dua orang yang terduga sebagai teroris telah melanggar undang-undang HAM. Alasannya, meski dua orang yang polisi duga sebagai jaringan teroris tersebut masih sebatas dugaan, Densus sudah main hakim sendiri. Ia juga mengatakan, kejadian cenderung diskenariokan atau rekayasa.

    “Giliran Makassar jadi kelinci percobaan Densus 88. Teman-teman pemantau Komnas HAM menemukan indikasi orang-orang teroris itu adalah “peliharaan” mereka juga. Komnas HAM sedang kumpulkan bukti bahwa penanganan teroris dengan cara seperti ini itu salah besar. Justru Densus yang melanggar HAM karena orang yang ditembak mati baru dugaan,” katanya seperti dikutip Tribun (5/1/2013).

  Mantan komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming menyebut tindakan Densus 88 membunuh tujuh Muslim di Makassar dan NTB tergolong pelanggaran HAM berat.  “Mereka sangat patut diseret ke penyelidikan projustitia  pelanggaran HAM berat, termasuk pimpinan Polri secara berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat untuk melakukan operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur hukum),” tandasnya kepada media ini.

  Ia menjelaskan, extra judicial killing merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang melanggar UU 39 th 1999  khususnya pada penjelasan Pasal 104 junto UU 26 th 2000 tentang pengadilan HAM pasal 7 sub B dan Pasal 9 masing-masing dengan unsur-unsur pembunuhan, penghilangan orang, penyiksaan,teror dan perbuatan lain yang sangat memenuhi syarat sebagaimana mandat kedua UU tersebut. Ini sesuai juga dengan mandat Statuta Roma tahun 1998.

   Operasi Densus 88 dinilainya juga melanggar UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang anti penyiksaan dan perendahan martabat manusia dan penghukuman yang merendahkan martabat manusia. “Semua ini sudah cukup menjadi bukti awal bahwa Densus 88 layak diseret ke depan pengadilan,” tandasnya.

   Menurutnya, Komnas HAM harus segera mengambil langkah untuk memulai penyelidikan projustitiapelangaran HAM berat yang dilakukan Densus 88. “Kalau mekanisme institusi mengalami jalan buntu karena intervensi kekuasaan maka umat Islam Indonesia harus memprakarsai untuk membawa kasus ini ke forum internasional yakni International Criminal Court yang bermarkas di Den Haag, Belanda,” tandasnya.

   Di sana, kata Daming, ada pengadilan internasional yang berwenang untuk melakukan pengadilan terhadap setiap pelanggaran HAM berat yang tidak dapat diselesaikan oleh mekanisme internasional. Kalau perlu umat Islam bersatu untuk memboikot pajak karena ternyata negara mentolelir pajak yang dikumpulkan dari umat Islam sebagai penduduk mayoritas, untuk membunuhi dan memusnahkan perjuangan umat Islam.

    Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak DPR RI segera memanggil Kapolri terkait aksi brutal Densus 88 itu. Ketua MUI Amidhan sependapat bahwa tindakan Densus itu melanggar HAM. Alasannya,pertama, ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Kedua, bertentangan Hak Asasi Manusia (HAM) karena mereka belum dibuktikan. Mestinya dengan cara apa pun, lanjut Amidhan, dilumpuhkan itu cara terakhir.

   “DPR Komisi III itu saya anjurkan harus memanggil Kapolri dalam persoalan ini. Komisi III juga tidak boleh bungkam. Kenapa kok dengan mudah mencap orang sebagai teroris lalu dilakukan tindakan represif, saya kira itu menyalahi prosedur,” tutupnya. [] Mujiyanto
BOKS

Ada Apa di Balik Konflik Poso?

    Poso adalah kota kecil di Provinsi Sulawesi Tengah. Nama itu baru muncul ke permukaan pada 1998 ketika konflik di sana meletus. Saat itu kaum Muslim diserang dan dibantai oleh kelompok Kristen.

    Aparat keamanan diturunkan untuk mengatasi itu. Tapi penanganan tersebut dirasa tidak adil oleh masyarakat karena yang dipersalahkan justru umat Islam. Ketidakadilan itulah yang terus membekas di benak rakyat. Apalagi belakangan aparat keamanan menyebut Poso sebagai sarang teroris dan melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti hati rakyat.

    Di balik itu, ternyata Poso menyimpan potensi ekonomi yang besar. Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman menilai, adanya motif kepentingan ekonomi atau kepentingan kapitalis di balik konflik Poso. “Memang sulit dibuktikan, namun setidaknya kapitalis memang memperoleh manfaat dari terjadinya konflik dan penangannya selama ini.”

    Arianto Sangadji, Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu, dalam sebuah tulisannya di media nasional menyebut sejak pertengahan 1990-an, PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, sudah bernafsu mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000.

   Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mendapat kontrak karya penambangan emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, sebagian besarnya masuk wilayah Kabupaten Poso.

    Pertengahan Juni 2006, Rio Tinto mengumumkan rencana penambangan nikel dekat areal kontrak karya PT Inco di Morowali. Di Teluk Tolo, khususnya di wilayah Kabupaten Morowali, terdapat areal joint operation bodyPertamina dan Medco E & P Sulawesi untuk eksploitasi minyak.

     Lalu PT Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company, sejak pertengahan 2005, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 740 MW, dengan memanfaatkan aliran Sungai Poso, untuk menyuplai kebutuhan industri di Sulawesi Selatan. Untuk itu, perusahaan tengah membangun tower-tower SUTET di atas tanah-tanah pertanian warga Poso menerobos ke Sulawesi Selatan.

    Nah kehadiran korporasi raksasa itu memicu konflik dengan petani. Sejak akhir 1990-an, penduduk asli Bungku dan transmigran asal Bali, Lombok, dan Jawa bertikai dengan PT Inco karena areal kontrak karya terletak tepat di atas lahan-lahan pertanian. Dalam proyek PLTA, warga 11 desa di sekitar Danau Poso resah karena proyek ini menimbulkan banyak masalah, terutama soal ganti rugi tanah.

    Bagi korporasi-korporasi raksasa itu, konflik Poso dan penanganannya seperti berkah di tengah bencana. “Pasukan-pasukan tempur organik yang ditempatkan di sana dan sekitarnya, seolah “melindungi” korporasi itu dari oposisi para petani. Korporasi-korporasi itu langsung atau tak langsung mendapat keuntungan dari konflik Poso,” jelas Yahya.

    Menurutnya, isu terorisme digunakan untuk menutupi isu kekerasan struktural yang dialami para petani. “Tenggelam oleh isu terorisme yang salah satu episentrumnya di Poso,” jelasnya.
Di sisi lain, muncul pula analisis  bahwa ini merupakan proyek Densus 88. “Di belakang banyak kepentingan pembiayaan, kita tahu anggaran untuk Densus 88 besar sekali. Belum lagi bantuan internasional. Kalau tidak ada teroris, maka tidak diperlukan Densus, kalau proyek jalan maka diperlukan adanya terorisme,” kata Daming.[] emje

MK Terlibat Jual Negara


Ichsanuddin Noorsy,
Pengamat Kebijakan Publik
“Jual negara kepada asing penjajah,” sepertinya kalimat itulah yang belum terdengar keluar dari mulut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terkait jual beli pasal di DPR. Padahal, menurut Ichsanuddin Noorsy, esensi dari jual beli pasal adalah menyerahkan kedaulatan negeri ini kepada asing. Noorsy pun menuding bahwa MK turut terlibat dalam menjual negara ini! Kok bisa? Temukan jawabannya dalam petikan wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan pengamat kebijakan publik tersebut. Berikut petikannya.

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan bahwa di DPR terjadi jual beli pasal. Bagaimana tangggapan Anda?

Rasanya itu sudah terjadi sejak April 1966, ketika pemerintah RI menerima gagas UU penanaman modal dari kepentingan pengusaha Freeport, bernama Forbes Wilson. Jadi jual beli pasal itu bukan hal baru, itu hal lama. Di sana dimuatlah kepentingan-kepentingan asing, yang dituangkan dalam UU Penanaman Modal Asing.

Itu disyaratkan oleh para investor asing agar  Indonesia demikian ramah dengan para investor asing. Itu sudah menjual, bukan hanya menjual pasal, itu menjual negeri, kan konten dari menjual pasal adalah menjual negeri ini.

Jadi bukan hanya sekarang,  Yang kayak gitu,  sudah terjadi di awal era Soeharto. Dari UU Nomor 1 Tahun 1967 yang saya ceritakan, berlanjut ke UU No 8 Tahun 1967 tentang pertambangan, untuk pengamanan kepentingan investor asing, di bidang pertambangan, kalau tadi di bidang emas.

Yang kedua UU No 11 Tahun 1967, itu tentang pertambangan minyak, dan seterusnya. Tetapi Soeharto tidak serta merta menataliberalkan. Soeharto masih setengah hati untuk meliberalkan perekonomian.

Soeharto baru kemudian menerima lagi, atau lebih tepatnya pasal-pasal yang dijualbelikan itu, baru diterima lagi pada periode tahun 1982-an, dengan nama deregulasi dan debirokratisasi. Sebagai aplikasi dari  konsensus Washington, itu juga jual pasal!

Itu dilakukan oleh eksekutif dengan menerbitkan kebijakan 4 November, lalu kebijakan Oktober, dan seterusnya sampai akhirnya negeri ini liberal.

Kalau di era Reformasi?

Sama saja.  Itu terjadi dari mulai UU Pemerintah Daerah, UU Persaingan Usaha, UU Perbankan,  UU No 10 Tahun 1998 itu. Lalu UU Lalu Lintas Devisa Sistem Pembayaran, UU Pemerintah Daerah (lagi, red), UU Perimbangan Pusat Daerah, termasuk terakhir UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Energi No 30 Tahun 2007, UU 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan, UU Migas, UU Minerba. Itu semua jual pasal, jual negeri!

Dan itu tidak hanya dilakukan oleh DPR. Jadi kalau tudingannya hanya dilakukan oleh DPR, salah. Yang menjual pertama kali eksekutif.

Jadi eksekutif dapat dana dari asing, terus diserahkan ke DPR, DPR dapat uang lagi, disetujui DPR, begitu?

Iya betul, eksekutif menerima, bukan mendapat uang dari asing, eksekutif menerima pinjaman dari asing, lalu asing mengatur supaya Indonesia bikin UU seperti ini. Jadi kita membayar dengan utang, karena kita mempekerjakan mereka dengan utangnya. Namanya pinjaman program.

Contohnya?
Kemarin pemerintah RI di bawah Presiden SBY juga mencairkan 400 juta dolar Amerika untuk development policy law VIII dan di dalamnya ada persoalan PNPM dan dana KUR, macam-macam. Menerima pinjaman luar negeri, dengan pinjaman program, mereka ngatur lewat pembentukan draft UU, macam-macam, dibawa ke DPR, DPR juga terima lalu balik lagi ke eksekutif, jadi Undang-Undang.

Jadi tudingan Mahfud, tudingan salah arah itu. Saya khawatir MK juga ikut dalam konstruksi itu, walaupun mereka tidak menerima apa-apa. Karena kebijakan MK misalnya membenarkan asuransi asing, yang menolak gugatan-gugatan yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai konstitusi.

Contohnya dalam UU apa MK bisa dikatakan terlibat dalam menjual negara?

Contoh sederhana ketika kami menggugat UU No 22 Tahun 2001 tentang Kelistrikan yang dibatalkan oleh MK, tetapi dalam UU No 30 Th 2009 MK membenarkan tentang Kelistrikan (padahal esensi dari kedua UU tersebut sama, hanya diubah redaksi katanya saja, red).

Contoh  lainnya, ketika kami menggugat UU Penanaman Modal yang sudah jelas-jelas menjajah Indonesia, MK menolaknya tuh. Begitu juga ketika kami menggugat UU tentang Piagam ASEAN yang sesungguhnya melepas Indonesia ke dalam mekanisme pasar bebas secara total untuk kepentingan ASEAN dan Amerika, sebenarnya untuk Amerika, MK menolaknya tuh.

Jadi, walaupun MK kelihatan tidak menjual tetapi dengan  sikap pembenarannya terhadap UU yang menjual negara, akhirnya MK pun ikut menjual.

Pihak-pihak yang terlibat dalam jualan pasal dan UU ini sebenarnya menyadari atau tidak, bahwa sesungguhnya mereka telah menjual negara?

Jadi klasifikasinya ada tiga. Pertama, ada yang tidak mengerti tapi demikian menjunjung free market mechanism atau pasar bebas yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan itu. Kedua, memang menjadi pejuang penuh free market mechanism, istilah saya sebagai true believer free market mechanism atau pakai istilah Stiglitz, free market foundamentalism, fundamentalis-fundamentalis mekanisme pasar bebas. Mereka ini meyakini penuh atas kebenaran free market mechanism yang dalam periode 2008-2011 jelas-jelas kalah dalam peperangan perekenomian. Ketiga, yang tidak mengerti, tidak mau belajar, tidak mau membuka otaknya, yang tidak mengerti posisinya.

Nah, yang paling berbahaya itu yang mana dari ketiga kelompok itu?

Saya membaginya ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, saya sebut sebagai symbolic torture, atau kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini rata-rata mereka menjadi fundamentalis, yang dalam istilah saya, mereka menjadi true believer.

Mereka belajar di Amerika, mereka belajar di fakultas-fakultas, di perguruan tinggi-perguruan tinggi Indonesia, mereka tidak dapat pembelajaran alternatif lain. Mereka dididik meyakini yang namanya di luar free market mechanism adalah sebuah kegagalan, adalah sebuah kekonyolan. Lalu mereka menjadi fundamentalis, mereka menjadi pejuang habis-habisan free market mechanism dan mereka menyebut orang-orang yang mencoba menegakan ekonomi konstitusi seperti saya sebagai nationalism bad, sebagai  the looser, sebagai pecundang. Mereka sebagai pengkhianat, pengkhianat terhadap konstitusi.

Kedua, saya sebut sebagai Stockholm syndrome. Nah, sindrom Stockholm itu orang-orang yang menikmati hidup dari hasil penjajahan.  Padahal yang diberikan kepada mereka, sebagai sebuah penghasilan kehidupan, sebagai kemewahan atau keagungan, itu sebenarnya sedikit sekali.

Yang dirampok penjajah itu bergalon-galon, tetapi yang diberikan ke mereka cuma tetesan, yang tetesan itu mereka bangga-banggakan sebagai betapa baiknya penjajah kepada mereka.

Ketiga?

Misleading symplication. Ini aliran pragmatis, ini aliran mau serba gampang, serba instan yang tidak mau belajar, selalu ingin menyederhanakan masalah, tetapi sebenarnya menyesatkan.

Misalnya, mereka membahas tentang kopi instan, roti instan, roti isi daging sapi instan. Tetapi mereka tidak pernah mau tahu bagaimana proses pembuatan kopinya, rotinya, daging sapinya. Mereka tidak mau tahu standar-standar yang dibangunnya yang penting mereka bisa menikmati.

Lalu mereka bilang, “ini tidak masalah,”  Padahal di Barat sana itu, makanan yang mereka banggakan itu terkategori junk food atau makanan sampah. Mereka bilang, ini sebagai sebuah kenikmatan, ini sebagai sebuah ukuran kemodernan.

Ukuran kemodernan lainnya yang mereka banggakan padahal penyesatan adalah banyak perempuan yang menunjukkan paha, perut dan dadanya sebagai indikator. Mereka bilang ini adalah seni. Padahal itu pembodohan!

Lalu mereka juga membenarkan free market mechanism itu sebagai sebuah kedigdayaan dan ternyata benar gitu loh posisinya. Jadi mereka tidak pernah tahu  bahwa orang-orang Barat sendiri sudah memaki habis-habisan free market mechanism itu.

Jadi kelompok mana yang paling bahaya?

Saya kira yang paling berbahaya yang pertama tadi, yang saya sebut sebagai kekerasan simbolik, karena rata-rata mereka adalah elite dan yang keduanya adalah mereka para aparat, termasuk para birokrat, yang berada pada posisi sindrom Stockholm. Terakhir, masyarakat kebanyakan sebagai orang-orang yang mengidap penyakit pragmatis, mereka menyederhanakan  masalah tetapi menyesatkan posisinya

Rabu, 13 Februari 2013

Sarat KKN dan Pungli Di UPTD Dinas Kebersihan Kota Makassar


 Makassar, (Jumat, 25 Januari 2013, Pukul 15.00 Wita) Andi Tenri di press room Kasubag Pengaduan Humas Pemkot Makassar dalam keterangan persnya rupanya tidak main-main akan menindaki siapa saja instansi yang melakukan praktek pungutan liar (pungli) diluar dari ketentuan perda yang sudah ditetapkan retribusinya, jika terbukti maka akan diberikan sanksi”ungkapnya.

     Indikasi terkait adanya pungli yang dilakukan UPTD Penataan Kebersihan Kota Makassar yang berlokasi dikerung-kerung ini berawal dengan adanya laporan dari masyarakat yang mempertanyakan besarnya  retribusi penyedotan tinja yang dikenakan bagi pemukiman masyarakat/rumah tangga yakni 250 ribu rupiah dalam bentuk kwitansi, pasalnya ini dinilai sangat tidak wajar dan sarat akan KKN. 

     Hal ini dibenarkan dari salah satu keterangan sumber yang bekerja diinstansi tersebut jika biaya pendaftaran yang dikenakan untuk pelayanan penyedotan mobil tinja sebesar Rp.250 ribu rupiah dan praktek pungli ini sudah berjalan dua tahun lebih, sementara disinyalir yang masuk dalam kas daerah hanya 200 ribu rupiah, selebihnya inilah yang mungkin dibagi-bagikan kepetugas kebersihan lainnya . Ungkap sumber.

    Hingga berita ini dilansir setelah dilakukan penelusuran terkait kebenaran laporan dari masyarakat. Kepala dinas kebersihan dan pertamanan Kota Makassar, Muhammad Kasim saat ingin ditemui dikantornya, jarang ditempat. Sementara Kabid Penataan Kebersihan Kota Makassar saat mencoba dihubungi lewat ponselnya enggan memberikan keterangan. 

    Padahal dalam Perda No.11 Tahun 2011 pasal 9 terkait besarnya tarif Retribusi Persampahan/Kebersihan yang meliputi pengambilan, pengankutan, pembuangan Sampah/atau Penyedotan limbah ini sudah ditetapkan biayanya yakni untuk rumah tangga Rp. 200.000 tinja/jamban (Perseptik tank/Tangki) sedangkan untuk industri sebesar Rp. 250.000 tinja/jamban (Perseptik tank/Tangki) pipa tidak lebih dari 25 m.(red/forwi)

BNPB Banjir Mangancam Jakarta Hingga Februari

Jakarta (SI ONLINE) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan banjir masih mengancam wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya hingga Februari karena menurut prakiraan curah hujan di wilayah ini masih tinggi hingga bulan depan.

"Data rata-rata bulanan menunjukkan puncak curah hujan di Jakarta terjadi bulan Januari hingga Februari dengan intensitas maksimal mencapai lebih dari 400 milimeter," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (18/1/2013).

Sutopo menjelaskan, banjir di Jakarta pada Kamis (17/1) terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah Ibu Kota, bukan karena kiriman dari daerah hulu.


Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan di beberapa wilayah Jakarta seperti Kedoya mencapai 125 milimeter, Tanjung Priok 95 milimeter, Cengkareng 103 milimeter dan daerah lain kurang dari 100 milimeter kemarin.


Hujan lokal membuat ketinggian air di Pintu Air Manggarai mencapai 920 sentimeter dan muka air Sungai Ciliwung di Depok hanya mencapai sekitar dua meter (siaga III). Sementara tinggi air di Pintu Air  Katulampa sekitar 97 sentimeter (siaga III).


BMKG memprakirakan, hujan dengan intensitas ringan sampai lebat masih akan terjadi sampai Sabtu (19/1) dan akan mereda pada Minggu dan Senin.


Menurut BNPB, banjir menggenangi sekitar 41 kilometer persegi atau delapan persen wilayah Jakarta pada Kamis dan berdampak terhadap 248.846 warga di 74 kelurahannya. Menurut laporan, 11 orang meninggal dunia selama banjir kemarin.


BNPB belum bisa memperkirakan jumlah kerugian akibat banjir tersebut, "Saat ini fokus kami adalah jangan sampai korban bertambah," kata Sutopo.


Tahun 2007, banjir melanda 231,8 kilometer persegi wilayah Jakarta, menyebabkan 80 orang meninggal dunia, dan 320.000 warga mengungsi. Total kerugian akibat banjir 2007 tersebut mencapai Rp4,3 triliun. (red: shodiq ramadhan)

Arsip Blog